JASA OUTSOURCING DI MEDAN

JASA OUTSOURCING DI MEDAN

Security/Satpam

PT. TIARA GADA PRATAMA

Operator Produksi

PT. TIARA GADA PRATAMA

Cleaning Service

PT. TIARA GADA PRATAMA

Driver/Supir

PT. TIARA GADA PRATAMA

Minggu, 01 Juni 2014

Sistem Hubungan Industrial Pancasila

a) Serikat Pekerja, Lembaga Bipartit, dan Tripartit

Upaya pengembangan dan pemantapan fungsi lembaga ketenagakerjaan seperti serikat pekerja, lembaga bipartit dan tripartit dilaksanakan antara lain melalui pendidikan dan penyuluhan HIP. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari upaya memasyarakatkan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) dan diarahkan agar pelaku hubungan kerja lebih mampu memecahkan masalah nyata dengan berlandaskan HIP. Pada tahun 1995/96, dilaksanakan pendi­dikan dan penyuluhan HIP bagi 2.611 orang yang terdiri dari 1.968 orang pekerja, 398 orang pengusaha, dan 245 orang dari instansi pemerintah.
Serikat pekerja dalam hal ini SPSI, menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Pada tahun 1995/96, jumlah unit kerja SPSI bertambah sebanyak 2.116 buah atau meningkat sebesar 19,9 persen bila dibandingkan dengan tahun 1994/95. Secara kumulatif, dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1995/96 terbentuk unit kerja SPSI di perusahaan sebanyak 12.739 buah, 272 dewan pimpinan cabang (D.PC) SPSI, dan 27 dewan pimpinan daerah (DPD) SPSI (Tabel IV-9). Pada perusahaan yang belum memiliki unit kerja SPSI, dibentuk serikat pekerja tingkat perusahaan (SPTP). Sampai dengan tahun 1995/96 telah terbentuk 1.015 unit SPTP.
Lembaga kerja sama (LKS) bipartit merupakan wadah bagi pengusaha dan pekerja untuk memecahkan masalah hubungan industrial secara bersama. Pada tahun 1995/96, terbentuk 942 buah LKS bipartit, sehingga secara kumulatif mulai tahun 1983 telah terbentuk sebanyak 5.271 buah LKS Bipartit di tingkat perusahaan. LKS tripartit merupakan wadah konsultasi dan komunikasi antara pemerintah, organisasi pekerja, dan organisasi pengusaha yang didirikan sejak tahun 1979. Sampai dengan tahun 1995/96, telah terbentuk LKS tripartit di daerah tingkat II sebanyak 216 buah, dan LKS tripartit sektoral sebanyak 96 unit yang tersebar di seluruh propinsi.
 b) Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di tingkat pusat dan daerah (P4P/P4D) merupakan lembaga ketenagakerjaan yang bertugas membantu menyelesaikan perselisihan dan pemutusan hubungan ketenagakerjaan. Dengan semakin mantapnya fungsi lembaga penye­lesaian perselisihan yaitu P4P dan P4D, perselisihan perburuhan menurut UU. No. 22/1957 dan pemutusan hubungan kerja menurut UU. No. 12/1964 semakin berkurang. Upaya untuk mengurangi terjadinya perselisihan juga dilaksanakan melalui penyuluhan di perusahaan mengenai cara-cara penanggulangan masalah hubungan industrial secara musyawarah dan mufakat.
Pada tahun 1995/96, perselisihan perburuhan dan pemutusan hu­bungan kerja yang masuk melalui P4D tercatat sebanyak 3.842 perkara, dan berhasil diselesaikan sebanyak 4.147 perkara, termasuk yang belum putus pada tahun sebelumnya. Perselisihan perburuhan dan pemutusan hubungan kerja yang masuk melalui P4P, tercatat sebanyak 808 perkara, dan berhasil diselesaikan sebanyak 787 perkara. Jumlah perkara yang masuk melalui P4D dan P4P mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 1994/95, yang tercatat masing-masing sebanyak 4.463 dan 1.016 perkara. Penurunan ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan mufakat telah meningkat di antara para pekerja dengan pengusaha.

2) Perbaikan Syarat-syarat Kerja dan Peningkatan Kesejahteraan

a) Pengupahan

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja diupayakan perbaikan syarat-syarat kerja melalui penyempurnaan pengupahan, di mana upah minimum regional (UMR) ditetapkan secara bertahap agar setara dengan kebutuhan hidup minimum (KHM). Pada tahun 1994/95, diadakan penyempurnaan komponen kebutuhan fisik minimum (KFM) menjadi KHM. Setelah komponen KHM ditetapkan, maka dilaksanakan penetapan kenaikan UMR yang berlaku secara berkala setiap tanggal 1 April. Sampai dengan tahun 1995, ditetapkan 28 UMR di 27 propinsi. Pada tahun 1995, rata-rata UMR per hari adalah sebesar Rp3.711,- atau meningkat 18,6 persen dibandingkan dengan tahun 1994. Upah terendah 'terdapat di Propinsi Sulawesi Tengah sebesar Rp2.800,- dan tertinggi terdapat di Pulau Batam sebesar Rp6.750,-. Dengan adanya kenaikan tersebut, sampai dengan tahun 1995 UMR telah mencapai 90,7 persen dari KHM (Tabel IV-10).

b)  Kesepakatan Kerja Bersama

Kesepakatan kerja bersama (KKB) di perusahaan merupakan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat, yang berorientasi pada usaha-usaha untuk mengembangkan keserasian hubungan kerja, usaha dan kesejahteraan bersama, melalui penegasan hak dan kewajiban masing-masing secara konkrit dan jelas. Bagi perusahaan yang mempunyai pekerja paling sedikit 25 orang dan belum memiliki unit kerja SPSI, sejak tahun 1978 diwajibkan membuat peraturan perusahaan (PP). Pada tahun 1995/96, terbentuk 2.915 buah KKB, baik di perusahaan besar maupun sedang. Secara kumulatif dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1995/96, telah terbentuk 10.546 KKB di 12.739 perusahaan yang sudah memiliki unit kerja SPSI (Tabel IV-11). PP yang terbentuk pada tahun 1995/96 adalah sebanyak 864 buah, sehingga secara kumulatif sampai dengan tahun 1995/96 telah mencapai jumlah 23.282 buah.
3) Perlindungan Tenaga Kerja

a) Perlindungan dan Pengawasan Tenaga Kerja

Perlindungan dan pengawasan tenaga kerja, antara lain diupayakan melalui penerapan seluruh aspek ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan norma kerja, baik melalui penyuluhan secara massal maupun pembinaan langsung keperusa­haan. Untuk meningkatkan efektifitas pengawasan norma kerja, diupayakan untuk meningkatkan kemampuan teknis pengawas ketenagakerjaan yang pada tahun 1995/96 meliputi pelatihan bagi 120 orang pegawai pengawas, dan penyiapan 100 orang fasilitator untuk pembentukan kader penerapan norma kerja. Pengawasan norma kerja telah dilaksanakan terhadap 39.212 perusahaan. Pada tahun 1995/96 telah ditindak 18.062 perusahaan yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan ketentuan yang berlaku. Selain itu, dilakukan pula upaya penyebarluasan ketentuan-ketentuan mengenai ketenagakerjaan melalui kegiatan cepat tepat norma kerja dan penyuluhan kesadaran hukum (kadarkum) bagi 1.359 perusahaan dan 6.250 pekerja. Untuk membantu penyebarluasan dan penerapan norma kerja di perusahaan, dibentuk kader penerapan norma kerja di 480 perusahaan.
Perlindungan bagi tenaga kerja wanita terus ditingkatkan dan dilaksanakan dengan memperluas jangkauan ke sektor informal, khususnya di unit-unit produksi industri rumah tangga, dalam bidang hiperkes, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya mem­berikan perlindungan bagi tenaga kerja wanita juga dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat, khususnya organisasi wanita untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Pada tahun 1995/96, dilaksanakan kegiatan penyusunan modul pelatihan dan pengembangan perlindungan tenaga kerja wanita di sektor informal. Selain itu, diadakan pelatihan bagi pelatih keterampilan dan perlindungan tenaga kerja wanita sektor informal sebanyak 440 orang, pelatihan bagi pelatih pengelola tempat penitipan anak (TPA) dan peningkatan penggunaan air susu ibu (PPASI) sebanyak 670 orang, serta pelatihan pelatih fasilitator sebanyak 670 orang.
Perlindungan dan pengawasan terhadap hal yang membahayakan keselamatan dan masa depan anak yang terpaksa bekerja terus diting­katkan. Upaya perlindungan dilakukan melalui penerapan norma kerja, yang mencakup peningkatan penegakan hukum (law enfor­cement) terhadap ketentuan-ketentuan dasar bagi anak yang terpaksa bekerja, antara lain berupa pembatasan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari, tidak mempekerjakan pada malam hari, pemberian waktu dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan, dan pelaksanaan pem­berian upah sesuai dengan UMR. Pada tahun 1995/96 dilaksanakan pelatihan peningkatan pengelolaan bagi 130 pengawas ketenagakerjaan untuk menangani anak yang terpaksa bekerja.

b)  Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Upaya perlindungan tenaga kerja dilaksanakan pula melalui kegiatan pengawasan dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta pembudayaan K3 di perusahaan. Pengawasan atas pelaksanaan norma K3 di perusahaan, meliputi pengawasan teknis terhadap bahaya penggunaan alat mekanik, proses produksi, bahaya penggunaan listrik, dan lingkungan kerja. Penyebarluasan dan pene­rapan K3 di perusahaan, dilaksanakan melalui pengembangan dan pembentukan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3). Pada tahun 1995/96, terbentuk P2K3 di perusahaan sejumlah 490 unit. Secara kumulatif dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1995/96, P2K3 telah mencapai sejumlah 11.389 unit.
Dalam rangka memasyarakatkan dan memberikan pengertian serta kesadaran yang menumbuhkan budaya K3 di kalangan pengusa­ha dan pekerja dilaksanakan kegiatan penyuluhan, kursus, dan pelatihan K3 yang antara lain mencakup pelatihan bagi 600 orang fasilitator, 4.744 orang juru las, 1.500 orang dokter pemeriksa kesehatan, dan 653 orang ahli K3. Dengan tumbuhnya kesadaran terhadap pentingnya K3, maka jumlah perusahaan yang mendapatkan penghargaan dalam keberhasilannya mencapai tingkat kecelakaan kerja nihil dengan berbagai kategori jam kerja semakin meningkat, yaitu dari 133 perusahaan pada tahun 1994/95 menjadi 184 perusa­haan pada tahun 1995/96.

c)   Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan upaya pula untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja. Jamsostek telah diselenggarakan sejak tahun 1978, dan peserta yang mengikutinya terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah perusahaan maupun jumlah tenaga kerja. Pada tahun 1995, jumlah peserta Jamsostek bertambah sebanyak 5.489 perusahaan dan mencakup 1.384,7 ribu orang tenaga kerja. Secara kumulatif sampai dengan tahun 1995, jumlah pesertanya telah mencapai sebanyak 56.673 perusahaan dan mencakup tenaga kerja 8.814,3 ribu orang. Selain itu, diselesaikan 252.211 kasus kecelakaan kerja, tabungan hari tua, dan jaminan kematian, dengan pembayaran jaminan sebesar Rp 126,02 miliar (Tabel IV-12).

2. Program Penunjang

a. Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Ketenagakerjaan

Program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan ketenagakerjaan bertujuan meningkatkan produktivitas dan sekaligus kemampuan, keahlian dan keterampilan bagi aparatur pemerintah. Pada tahun 1995/96, dilaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi 1.511 orang pegawai Departemen Tenaga Kerja. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi bidang fungsional seperti pengantar kerja, pegawai pengawas, dan pegawai perantara, sebanyak 630 orang; bidang teknis substantif seperti pengelola pelatihan, penguji hyperkes dan kesehatan kerja 350 orang; bidang teknis umum seperti manajemen proyek, dan penelitian khusus 269 orang; dan bidang struktural seperti Sekolah Pimpinan Administrasi tingkat Madya (SPAMA) dan Administrasi Umum (ADUM) 88 orang; serta pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan sistem pelatihan bagi 174 orang.

b.  Program Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan

Program penelitian dan pengembangan ketenagakerjaan ditujukan bagi penelitian masalah-masalah ketenagakerjaan yang bersifat operasional dan strategic kebijaksanaan, pengembangan ketenagakerjaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil-hasil penelitian akan dipergunakan sebagai bahan pendukung pelaksanaan program-program ketenagakerjaan dan perencanaan tenaga kerja nasional.
Pada tahun 1995/96, dilakukan penelitian mengenai potensi sumber daya manusia dan mobilitas penduduk di daerah kawasan pertumbuhan BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipina East Asean Growth Areas); perkembangan struktur perekonomian dan kesempatan kerja; penempatan tenaga kerja melalui mekanisme antarkerja antardaerah (AKAD); pemanfaatan teknologi padat karya di perdesaan; manfaat pemagangan bagi peserta dan perusahaan di industri pengolahan; kebutuhan pelatihan untuk pengembangan ekspor nonmigas pada subsektor tekstil dan kerajinan tangan; kesiapan lembaga latihan swasta dalam pengembangan sumber daya manusia; studi perkembangan upah dan lapangan kerja di berbagai cabang industri dan penyusunan model bagi sistem deteksi dini perselisihan hubungan industrial.

Sumber : http://www.bappenas.go.id/

Program Pendayagunaan dan Penyebaran Tenaga Kerja

Program pendayagunaan dan penyebaran tenaga kerja merupakan salah satu usaha perluasan lapangan kerja produktif dan usaha peman­faatan potensi tenaga kerja. Upaya untuk memanfaatkan potensi tenaga kerja penganggur dan setengah penganggur dilakukan melalui perencanaan tenaga kerja, tenaga kerja mandiri profesional, pemerataan kesempatan kerja antardaerah, ekspor jasa tenaga kerja, teknologi padat karya, dan pengindonesiaan tenaga kerja warga negara asing pendatang.

1) Perencanaan tenaga kerja

Perencanaan tenaga kerja pada hakikatnya merupakan upaya mempertemukan penyediaan dan kebutuhan tenaga kerja, baik antar­sektor, antardaerah, maupun antarnegara. Pada tahun 1995, disusun Perencanaan Tenaga Kerja Nasional dan Daerah yang dalam proses­nya melibatkan seluruh instansi sektoral dan Bappeda. Dengan ter­susunnya perencanaan tenaga kerja tersebut, maka pendayagunaan tenaga kerja menjadi semakin terarah. Secara operasional, perenca­naan tenaga kerja dilaksanakan melalui informasi ketenagakerjaan. Informasi ketenagakerjaan mencakup informasi persediaan tenaga kerja keluaran sistem pendidikan dan pelatihan, kebutuhan kuantitatif dan kualitatif tenaga kerja, lowongan pekerjaan dan persyaratannya, informasi mengenai upah, kebutuhan pelatihan, serta informasi yang berkaitan dengan penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Untuk menunjang sistem informasi ketenagakerjaan secara rinci dikembangkan sistem informasi dan bursa kerja terpadu yang dapat membantu perencanaan tenaga kerja dan melakukan kegiatan antarkerja secara aktif. Di samping itu, dilaksanakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan tenaga analis dan teknisi informasi ketenagakerjaan, agar mampu mengidentifikasi, mengolah dan menganalisis masalah ketenagakerjaan. Informasi tersebut memuat keadaan pasar kerja yang meliputi jumlah pencari kerja, permintaan dan penempatan tenaga kerja. Pada tahun 1995/96, jumlah tenaga kerja yang mendaftar ada sebanyak 3.617,5 ribu orang, dan permintaan sebanyak 435,0 ribu orang. Dari jumlah itu yang berhasil ditempatkan sebanyak 389,5 ribu orang. Dengan yang tergolong dihapuskan sebanyak 836,9 ribu orang, maka terdapat sisa pendaf­taran sebanyak 2.391,0 ribu orang (Tabel IV-3).

2) Tenaga Kerja Mandiri Profesional

Dalam rangka mendayagunakan tenaga kerja terdidik agar menjadi tenaga kerja mandiri dan pengusaha pemula, dikembangkan kegiatan yang dikenal dengan nama tenaga kerja mandiri profesional (TKMP). TKMP bertujuan untuk menumbuhkembangkan kader-kader wirausaha bagi tenaga kerja lulusan perguruan tinggi (sarjana) maupun tenaga kerja terdidik lainnya yang mempunyai motivasi dan minat untuk menjadi wirausaha. Penyaluran dan pembinaan TKMP antara lain diupayakan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi, dan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta melalui penempatan di unit-unit ekonomi produktif, dan daerah perdesaan tertinggal.
Pada tahun 1995/96 telah dilaksanakan pembinaan TKMP terhadap 2.000 orang sebagai calon pengusaha pemula melalui kerja sama dengan 27 perguruan tinggi di seluruh wilayah Indonesia. Dibandingkan tahun 1994/95, baik jumlah yang dibina maupun cakupan kerja sama yang dilakukan dengan perguruan tinggi mengalami peningkatan. Selain itu, melalui kerja sama dengan LSM didayagunakan sejumlah 1.279 pekerja keluarga yang belum optimal untuk dibina sebagai pemula usaha di perusahaan kecil dan menengah.
Sebagai tindak lanjut dari penempatan di unit-unit ekonomi produktif, pada tahun 1995/96 ditempatkan TKMP sejumlah 2.367 orang sarjana dan 2.875 orang lulusan SMTA dan lulusan pendidikan nongelar (D3 dan D4). Selama bertugas dua tahun di lapangan, tenaga kerja dapat bertindak sebagai motivator dan konsultan manajemen koperasi/KUD, pemandu wirausaha dan motivator di lembaga ketahanan masyarakat desa (LKMD), tenaga penyuluh dan tenaga teknis di sektor-sektor pembangunan yang membutuhkan seperti penyuluh hukum, penyuluh dan motivator keluarga berencana, dan berbagai tugas di daerah transmigrasi.
Dalam rangka melanjutkan program pengentasan kemiskinan, khususnya masyarakat di perdesaan tertinggal, pada tahun 1995/96 ditempatkan TKMP sebanyak 1.127 orang sebagai pendamping ke­lompok masyarakat. Tujuan dari penempatan ini antara lain membantu kelompok masyarakat di perdesaan tertinggal dalam mengelola dana bergulir yang disalurkan sebagai bantuan permodalan untuk mening­katkan usahanya.
Secara keseluruhan, TKMP yang dibina menjadi pengusaha pemula, ditempatkan di unit-unit ekonomi produktif, maupun yang ditempatkan di perdesaan tertinggal, seluruhnya berjumlah 9.648 orang. Keadaan ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 1994/95 yang berjumlah 4.087 orang (Tabel IV-4). Meningkatnya jumlah TKMP ini disebabkan semakin dibutuhkannya tenaga terdidik khususnya sarjana sebagai tenaga mandiri yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain.
3) Pemerataan Kesempatan Kerja Antardaerah
Dalam rangka meningkatkan pemerataan kesempatan kerja antar­daerah, kegiatan penyaluran dan penempatan tenaga kerja melalui mekanisme AKL dan AKAD terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Melalui mekanisme AKL ditempatkan tenaga kerja secara langsung ke berbagai perusahaan termasuk pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) dan penanganan lahan kritis. Melalui mekanisme AKAD, ditempatkan tenaga kerja ke perusahaan dengan koordinasi berbagai instansi antara lain pada program penyaluran pemuda motivator di daerah transmigrasi dan perkebunan inti rakyat. Tenaga kerja yang ditempatkan tersebut dipersiapkan sebagai tenaga terampil dalam berbagai kegiatannya. Pada tahun 1995/96, melalui mekanisme AKL dan AKAD telah berhasil ditempatkan tenaga kerja masing-masing sebanyak 187,6 ribu orang dan 57,6 ribu orang (Tabel IV-5).

4)   Ekspor Jasa Tenaga Kerja
Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sebagai ekspor jasa tenaga kerja diupayakan untuk ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja terampil dan mengurangi jumlah tenaga kerja tidak terampil. Mekanisme pengiriman telah disempurnakan antara lain melalui pembinaan dan bimbingan yang lebih ketat bagi perusahaan yang melaksanakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pembinaan dan bimbingan dirnaksudkan untuk menghindari terjadinya pengiriman secara ilegal, yang dapat merugikan baik bagi tenaga kerja yang bersangkutan maupun nama baik bangsa dan Negara.
Pada tahun 1995/96 telah dikirim tenaga kerja Indonesia ke berbagai negara sebanyak 120.896 orang. Jumlah ini menurun 33,0 persen apabila dibandingkan dengan tahun 1994/95 (Tabel IV-5). Hal ini disebabkan pengiriman tenaga kerja lebih diarahkan ke sektor formal di berbagai bidang seperti perkebunan, angkutan, listrik dan elektronika, pelayanan kesehatan, perhotelan, industri pengolahan, perminyakan, dan pertambangan, sehingga seleksi dan penerimaannya menjadi lebih ketat. Sebagian besar tenaga kerja tersebut dikirim ke negara-negara Timur Tengah, dan sebagian lagi ke Malaysia, Brunei, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan beberapa negara di Eropa.

5)   Teknologi Padat Karya

Penerapan dan penyebarluasan teknologi padat karya (TPK) untuk memperkuat usaha kecil dan usaha kerajinan industri rumah tangga terus dilanjutkan dengan menggunakan alat-alat produksi sederhana. Jenis teknologi yang disebarluaskan meliputi peningkatan produksi dan teknologi yang dapat dikembangkan untuk usaha mandiri. Pada tahun 1995/96, diterapkan dan disebarluaskan 9 jenis TPK pada lokasi terpilih, khususnya di perdesaan tertinggal. Untuk itu, dilakukan pelatihan bagi 60 kader di 27 propinsi agar mampu mengembangkan potensi daerah setempat melalui kelompok usaha. Kelompok usaha yang memanfaatkan TPK tersebut mencakup 3.000 orang. Dalam rangka mencari alternatif jenis TPK, dikembangkan pula '9 jenis teknologi barn sehingga dapat meningkatkan barang dan jasa yang dihasilkan dan memperluas kesempatan kerja serta kesempatan berusaha. Dengan demikian, sampai dengan tahun kedua Repelita VI jumlah TPK telah menjadi 43 jenis.

6) Pengindonesiaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang

Pembatasan melalui pengendalian izin kerja bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dilakukan guna memperluas lapangan kerja dan meningkatkan profesionalisme tenaga kerja Indonesia. Bentuk pengendalian izin kerja tersebut dilakukan dengan menambah, memperluas, dan menyempurnakan daftar jabatan yang tertutup, masih terbuka, dan terbuka untuk sementara waktu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tahun 1995/96, terdapat sebanyak 5.153 jumlah jenis jabatan yang dibatasi, terdiri dari jumlah jenis jabatan yang tertutup sebanyak 1.841, diizinkan untuk waktu tertentu sebanyak 3.089, dan terbuka untuk sementara waktu sebanyak 223 (Tabel IV-6 dan Tabel IV-7). Walaupun jumlah jenis jabatan yang dibatasi tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, upaya pengambilalihan berbagai jabatan dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia terus dilaksanakan melalui pelatihan di perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing.
c. Program Pelatihan dan Peningkatan Keterampilan Tenaga Kerja
Program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian serta profesionalisme tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan di berbagai sektor dan daerah. Program ini dilaksanakan melalui pelatihan keterampilan dan pemagangan, pelatihan masyarakat, serta pembinaan dan penataran tenaga kepelatihan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pelatihan keterampilan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta pengguna tenaga kerja atau perusahaan mulai dari saat perencanaan, penyusunan program sampai pada pelaksanaan pe­latihan. Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pelatihan, peran serta asosiasi profesi dan keahlian serta asosiasi perusahaan juga terus ditingkatkan.

1) Pelatihan Keterampilan dan Pemagangan

Pelatihan keterampilan dilaksanakan sebagai upaya untuk men­jembatani kesenjangan antara keluaran sistem pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Untuk itu dilakukan penataan kembali penye­lenggaraan pelatihan khususnya di BLK/KLK yang berjumlah 153 buah di seluruh Indonesia. Penataan kembali pelatihan dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan dan mengklasifikasikan tipe-tipe BLK/KLK, menjadi tipe industri untuk yang berlokasi dekat dengan daerah industri, tipe khusus yang berdasarkan potensi ekonomi sektoral tertentu, seperti pariwisata dan agrobisnis, dan tipe yang menitikberatkan pada pelatihan keliling/mobile training unit (MTU) bagi usaha kecil dan menengah. Selain itu, juga dikembangkan tipe BLK untuk meningkatkan kualitas instruktur dan pengembangan program pelatihan.
Peranan BLK/KLK juga terus ditingkatkan dalam upaya mening­katkan keterampilan tenaga kerja, antara lain melalui penambahan peralatan pelatihan, perbaikan sarana bengkel pelatihan dan relokasi beberapa peralatan pelatihan yang disesuaikan dengan potensi dan pengembangan daerah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan pengguna dan persyaratan mutu tenaga kerja dilakukan penyempur­naan kurikulum dan silabus pelatihan, penambahan waktu pelatihan dan peningkatan kerja sama/kemitraan pelatihan. Dalam tahun 1995/96 pelatihan keterampilan yang dilaksanakan oleh BLK/KLK telah diikuti oleh 68.623 orang yang meliputi pelatihan di balai latihan industri sebanyak 32.663 orang, di balai latihan pertanian 2.160 orang, dan sisanya dilatih melalui pelatihan keliling sebanyak 33.800 orang. Jumlah ini meningkat 15,7 persen apabila dibandingkan dengan tahun 1994/95 (Tabel IV-8).
Pelatihan pemagangan ditujukan untuk menghasilkan tenaga kerja terampil, (Competen, dan produktif, sebagai perwujudan peran serta dunia usaha di dalam pelaksanaan dan pengembangan sistem pelatihan. Pelatihan pemagangan juga diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesenjangan antara mutu keterampilan lulusan pelatihan dengan kebutuhan dunia kerja. Kejuruan pemagangan meliputi antara lain bidang otomotif, permesinan, listrik, las, mekanisasi pertanian, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk membantu perusahaan dalam menyelenggarakan pelatihan, diberikan jasa pelayanan meliputi metodologi pelatihan, kurikulum, standar kualifikasi keterampilan, dan kerja sama/kemitraan pelatihan. Pada tahun 1995/96 pelatihan pemagangan telah diperluas dari semula di 11 lokasi menjadi 31 lokasi BLK. Pelatihan ini diikuti oleh 1.377 orang tenaga kerja yang melibatkan 527 perusahaan. Keadaan ini meningkat dibandingkan dengan tahun 1994/95 yang berjumlah 496 orang.

2)  Pelatihan Masyarakat

Pelatihan masyarakat dilaksanakan melalui lembaga pelatihan swasta dan diarahkan pada jenis-jenis pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk itu, lembaga pelatihan swasta terus didorong dan ditingkatkan peranan­nya. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengembangkan lem­baga pelatihan swasta antara lain berupa pembinaan, pelatihan dan penyuluhan mengenai kurikulum dan silabus, serta peningkatan kualitas instruktur. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan kualitas tenaga kerja, lembaga pelatihan swasta dinilai secara menye-Iuruh melalui proses akreditasi. Akreditasi dimaksudkan untuk menen­tukan jenjang status kelembagaan sebagai cerminan kemampuan yang dimiliki lembaga dalam menyelenggarakan pelatihan kerja. Di cam-ping itu, himpunan lembaga pelatihan swasta didorong untuk menciptakan dan memanfaatkan kemitraan antara penyelenggara dan pengguna tenaga kerja.
Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelatihan, disusun standar pelatihan kerja dan standar kualifikasi keterampilan. Penyusunan standar tersebut melibatkan berbagai unsur, baik dari pemerintah, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, maupun industri. Pada tahun 1995/96, telah selesai disusun 34 standar kualifikasi keterampilan, 34 standar pelatihan kerja, dan 30 standar materi uji keterampilan.

3) Pembinaan dan Penataran Tenaga Kepelatihan

Dalam rangka meningkatkan mutu pelatihan dan profesionalisme tenaga kepelatihan, pembinaan dan penataran dilanjutkan dan ditingkatkan, baik jumlah maupun kualitasnya. Pembinaannya dilak­sanakan melalui pendidikan dan pelatihan, penugasan dan pemberian pengalaman praktek di industri, studi banding, penataran, seminar, dan sebagainya. Pembinaan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri secara berjenjang sejalan dengan kualifikasi dan program pelatihan yang dikembangkan. Bagi tenaga kepelatihan yang meme­nuhi persyaratan diberi kesempatan untuk menempuh program gelar (sarjana) dan nongelar (diploma) serta uji keterampilan (sertifikat keahlian dan keterampilan). Pada tahun 1995/96, dilatih dan ditatar 1.665 orang instruktur pelatihan kerja dan tenaga kepelatihan dari 27 propinsi. Jumlah yang_ dilatih dan ditatar menunjukkan peningkatan sebesar 26,6 persen bila dibandingkan dengan tahun 1994/95.
Seiring dengan upaya pembinaan dan penataran tenaga kepela­tihan, disusun pula data base yang memungkinkan diperoleh gambaran tentang profil instruktur pelatihan kerja. Pada tahun 1995/96 dilaksanakan penyusunan dan pengkajian profil instruktur BLK/KLK yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh, baik dari aspek jumlah maupun kualitasnya yang dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kualitas pelatihan.

4. Program Pembinaan Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja

Program pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja ditujukan untuk mewujudkan ketenangan kerja dan berusaha se­hingga tercipta hubungan yang serasi antara pekerja dan pengusaha. Program ini dilaksanakan melalui pembinaan dan pengembangan sistem HIP, perbaikan syarat-syarat kerja dan perlindungan tenaga kerja. Pengembangan HIP ditujukan untuk mempertemukan aspirasi pekerja dengan kemampuan perusahaan secara kekeluargaan serta sekaligus menumbuhkembangkan lembaga ketenagakerjaan. Perbaikan syarat-syarat kerja antara lain dilaksanakan melalui pengembangan sistem pengupahan yang terpadu dan bertahap didasarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri pekerja, dan keluarganya. Perlindungan tenaga kerja dilaksanakan melalui pengawasan dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan norma kerja, penerapan dan pembudayaan keselamatan dan kesehatan kerja, serta pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja.

TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

A. PENDAHULUAN

Pembangunan ketenagakerjaan dalam Repelita VI ditujukan untuk memperluas lapangan kerja produktif dalam jumlah dan mutu yang memadai, menyerap tambahan angkatan kerja baru, menghilangkan setengah pengangguran secara bertahap, mengurangi kesenjangan produktivitas antarsektor, meningkatkan pemerataan antardaerah, mengurangi jumlah pekerja di sektor pertanian, dan meningkatkan kesempatan kerja khususnya di :sektor industri dan jasa.
Dalam rangka itu telah dilaksanakan berbagai kegiatan pem­bangunan ketenagakerjaan untuk menciptakan iklim yang mendukung perluasan lapangan kerja, meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.
 Selama dua tahun Repelita VI, pembangunan ketenagakerjaan telah mampu menciptakan lapangan kerja baru dalam jumlah dan mutu yang memadai. Tambahan angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja dapat diikuti dari angka-angka perluasan lapangan kerja di berbagai sektor dan daerah. Pada tahun 1995, jumlah angkatan kerja, yaitu penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja dan mencari pekerjaan, adalah sebesar 85,6 juta orang, sedangkan jumlah pekerja yaitu angkatan kerja yang bekerja, adalah sebesar 81,2 juta orang. Dengan demikian, jumlah pencari kerja atau penganggur sebesar 4,4 juta orang atau sekitar 5,1 persen.
 Dalam rangka memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, khususnya bagi tenaga kerja terdidik, antara lain telah diupayakan penyaluran dan pembinaan tenaga kerja menjadi tenaga kerja mandiri profesional (TKMP). Pembinaan tenaga kerja ini lebih diutamakan bagi mereka yang mempunyai motivasi dan minat untuk menjadi kader wiraswasta. Penyaluran diutamakan pada unit-unit ekonomi produktif di perdesaan, seperti koperasi unit desa (KUD) dan daerah tertinggal lainnya. Selama dua tahun Repelita VI, telah dilaksanakan penyaluran dan pembinaan TKMP sebanyak 13,7 ribu orang.
 Penyaluran tenaga kerja dilaksanakan melalui mekanisme antar­kerja antardaerah (AKAD) dan antarkerja lokal (AKL). Pada tahun kedua Repelita VI telah disalurkan melalui kedua mekanisme tersebut masing-masing sebanyak 100,1 ribu orang dan 544,9 ribu orang. Di samping itu, untuk memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri didorong ekspor jasa tenaga kerja (EJTK), dalam rangka program antarkerja antarnegara (AKAN). Melalui EJTK ini telah disalurkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sebanyak 301,3 ribu orang.
Peningkatan kualitas tenaga kerja diusahakan melalui pelatihan kerja di balai-balai latihan kerja (BLK) dan kursus-kursus latihan kerja (KLK). Tenaga kerja yang telah dilatih di BLK/KLK selama dua tahun Repelita VI, berjumlah 127,9 ribu orang, meliputi pelatihan­pelatihan di bidang industri, pertanian, termasuk pelatihan keliling/mobile training unit (MTU). Untuk meningkatkan produk­tivitas dan keahlian di bidang manajerial bagi usaha kecil dan menengah telah dilaksanakan pelatihan bidang manajemen bagi 23,8 ribu orang di balai pengembangan produktivitas daerah (BPPD).
Peningkatan kesejahteraan tenaga kerja diupayakan terutama melalui penetapan upah minimum regional (UMR) yang ditinjau secara berkala. Sampai dengan tahun. kedua Repelita VI telah ditetapkan 28 upah minimum regional di 27 propinsi. Pelaksanaan UMR telah mencapai 90,7 persen dari kebutuhan hidup minimum (KHM). Upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja ditempuh pula melalui program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek). Sampai tahun kedua Repelita VI, jumlah peserta Jamsostek telah mencapai 56,7 ribu perusahaan dan mencakup sebanyak 8.814,3 ribu tenaga kerja.
 Pengembangan hubungan industrial Pancasila (HIP) dilaksanakan dengan pemantapan fungsi lembaga ketenagakerjaan. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) adalah wadah pekerja Indonesia, dan sampai dengan tahun kedua Repelita VI telah terbentuk sebanyak 12.739 unit kerja. Lembaga kerja sama (LKS) bipartit sebagai wahana konsultasi antara pengusaha dan pekerja di perusahaan telah terbentuk sebanyak 5.271 buah. LKS tripartit yang berfungsi sebagai forum konsultasi antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah, telah berkembang di 27 propinsi/Dati I dan 216 Dati II.

B. SASARAN, KEBIJAKSANAAN, DAN PROGRAM REPELITA VI

Sasaran perluasan lapangan kerja diarahkan untuk menyerap tambahan angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja. Dalam Repelita VI tambahan angkatan kerja bare diperkirakan sebesar 12,6 juta orang. Dengan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor pembangunan, kesempatan kerja akan bertambah sebesar 11,9 juta orang, yaitu di sektor pertanian termasuk kehutanan, peternakan, dan perikanan sebesar 1,9 juta, di sektor industri pengolahan 3,0 juta, di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, hotel, dan restauran sebesar 2,2 juta, di sektor jasa kemasyarakatan sebesar 2,3 juta dan sektor lainnya sebesar 2,5 juta. Dengan demikian, tingkat penganggur terbuka yang pada tahun 1990 sebesar 3,2 persen akan dapat diturunkan menjadi sebesar 0,8 persen pada tahun 1998. Jumlah penganggur sebesar 0,8 persen tersebut atau sekitar 0,7 juta ini terdiri atas, antara lain, tenaga kerja keluaran sistem pendidikan dan pelatihan yang baru masuk pasar kerja dan mencari pekerjaan serta angkatan kerja yang pindah pekerjaan.
Untuk mendukung tercapainya sasaran penciptaan lapangan kerja dengan jumlah dan mutu yang meningkat di berbagai bidang dan sektor pembangunan, ditempuh serangkaian kebijaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang meliputi: (a) pembinaan iklim bagi perluasan lapangan kerja, peningkatan efisiensi dan produktivitas, antara lain dengan menciptakan iklim usaha yang sehat dan dinamis, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan pelatihan produktivitas, penciptaan iklim produktivitas di masyarakat melalui peningkatan fungsi kelembagaan produktivitas; (b) pendayagunaan tenaga kerja produktif, melalui program khusus bagi kelompok angkatan kerja tertentu, seperti tenaga kerja muda terdidik, penganggur dan setengah penganggur; (c) peningkatan kualitas tenaga kerja antara lain melalui pelatihan keterampilan dengan mengupa­yakan adanya kemitraan pelatihan tenaga kerja antara penyelenggara dan pengguna tenaga kerja, pengembangan kelembagaan pelatihan; dan (d) pengembangan kesejahteraan tenaga kerja melalui penciptaan hubungan industrial Pancasila yang serasi dan didukung oleh perbaikan syarat kerja dan perlindungan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita dan anak yang terpaksa bekerja.
Atas dasar sasaran dan kebijaksanaan pembangunan ketenaga­kerjaan seperti dikemukakan di atas, ditempuh serangkaian program pembangunan ketenagakerjaan yang mencakup dua kelompok program, yaitu program pokok dan penunjang. Program pokok meliputi program pembinaan dan pengembangan kesempatan kerja dan produktivitas, program pendayagunaan dan penyebaran tenaga kerja, program pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, serta program pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja. Program penunjang terdiri dari program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan ketenagakerjaan, dan program penelitian dan pengembangan ketenagakerjaan.

C. PELAKSANAAN DAN HASIL PEMBANGUNAN TAHUN KEDUA REPELITA VI

Pada tahun kedua Repelita VI, kegiatan pembangunan telah menghasilkan perluasan lapangan kerja di berbagai sektor, sebagai­mana terlihat pada Tabel IV-1 dan IV-2. Tabel IV-1 menunjukkan besarnya jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan pada tahun 1995, dan Tabel IV -2 memberikan gambaran tentang jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha dan status pekerjaan utama pada tahun 1995.
Ditinjau menurut lapangan usaha, pada tahun 1995, jumlah keseluruhan angkatan kerja yang bekerja adalah sebesar 81,2 juta orang. Proporsi pekerja menurut lapangan usaha utama sangat ber­variasi. Jumlah angkatan kerja yang bekerja terbesar banyak terserap dalam lapangan usaha utama pertanian, yaitu sebesar 38,4 juta orang dengan proporsi sebesar 47,3 persen, sedangkan sisanya, yaitu 42,8 juta orang (52,7 persen) bergerak di luar sektor pertanian. Lapangan usaha utama nonpertanian terdiri dari sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air, konstruksi, perdagangan, keuangan dan jasa. Jumlah terbesar kedua setelah pekerja di sektor pertanian, adalah pekerja di sektor perdagangan yaitu sebesar 13,5 juta orang (16,6 persen) dan disusul secara berurutan oleh pekerja di sektor jasa yaitu 11,8 juta orang (14,5 persen) serta di sektor industri pengolahan yaitu 8,6 juta orang (10,7 persen).
Dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh pekerja, sebagian besar pekerja memiliki tingkat pendidikan SD dan SD ke bawah. Secara keseluruhan kelompok pekerja yang tamat SD dan SD ke bawah ini berjumlah 58,4 juta orang atau 71,8 persen. Jumlah angkatan kerja yang berpendidikan SMTP adalah sebesar 8,8 juta orang (10,9 persen), sedangkan yang berpendidikan SMTA sebanyak 11,4 juta (14,0 persen). Jumlah pekerja yang berpendidikan perguruan tinggi sebanyak 2,6 juta (3,2 persen).
Ditinjau dari status pekerjaan, angkatan kerja yang bekerja meliputi mereka yang bekerja di sektor informal dan formal. Mereka yang berstatus sebagai pekerja di sektor informal tampak masih cukup besar, yaitu berjumlah 53,3 juta orang atau 65,7 persen. Kelompok ini terdiri dari pekerja yang berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain 16,1 juta (19,8 persen), berusaha dengan dibantu orang lain 20,5 juta (25,3 persen) dan pekerja keluarga 16,7 juta (20,6 persen). Di sisi lain, kelompok pekerja di sektor formal sebesar 27,9 juta orang atau sebesar 34,3 persen, yaitu terdiri dari pekerja yang berusaha dengan buruh tetap 1,0 juta (1,2 persen) dan buruh/karyawan, baik pemerin­tah maupun swasta, berjumlah 26,9 juta (33,1 persen).
Meskipun sebagian besar pekerja masih berpendidikan rendah dan bekerja di sektor informal, namun tidak mengurangi kemampuan tenaga kerja untuk memproduksi barang dan jasa. Kemampuan pekerja dalam menghasilkan barang dan jasa tersebut tercermin dari nilai produktivitas pekerja Indonesia. Pada tahun 1995, berdasarkan harga konstan 1993, produktivitas pekerja Indonesia yang diukur dari PDB per pekerja cukup memberikan basil yang memuaskan yaitu sebesar Rp4,7 juta. Membaiknya produktivitas, diharapkan dapat memberi sumbangan yang berarti kepada pendapatan nasional dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Pelaksanaan dan basil pembangunan tahun kedua Repelita VI melalui program pokok dan penunjang di sektor ketenagakerjaan pada garis besarnya adalah sebagai berikut.
  
1. Program Pokok

a.      Program Pembinaan dan Pengembangan Kesempatan Kerja dan Produktivitas

Program pembinaan dan pengembangan kesempatan kerja dan produktivitas bertujuan untuk mendorong, memasyarakatkan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja terutama di koperasi, usaha menengah, dan usaha kecil. Melalui kegiatan-kegiatan dalam program ini, diupayakan untuk menciptakan iklim yang dapat mendorong perluasan lapangan kerja dan peningkatan efisiensi secara menyeluruh. Upaya yang ditempuh meliputi pengembangan produktivitas dan pembinaan lembaga produktivitas.
1) Pengembangan Produktivitas

Dalam rangka menciptakan iklim dan membudayakan produk­tivitas di masyarakat, dilakukan usaha-usaha untuk mendorong peningkatan dan pengembangan produktivitas. Kegiatannya antara lain meliputi penyebaran informasi produktivitas melalui kampanye dan penyuluhan di perusahaan kecil dan menengah dan pemberian penghargaan bagi perusahaan yang berpotensi meningkatkan produktivitas. Selain itu, juga disusun pola pengembangan model peningkatan produktivitas usaha produktif, terutama untuk pengembangan kewirausahaan. Pada tahun 1995/96, dilakukan uji coba model untuk mengembangkan desa produktif di 27 propinsi yang dilakukan melalui kegiatan pengukuran produktivitas di 135 perusa­haan, dan penelitian di 152 desa yang bercorak persawahan, per­kebunan, industri kecil, kerajinan rakyat, perdagangan dan jasa.
Dalam rangka meningkatkan kualitas, efisiensi, dan produktivitas tenaga kerja, dan manajemen perusahaan yang melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan, diselenggarakan berbagai pelatihan kepemimpinan/manajemen, dan usaha mandiri sektor informal di balai peningkatan produktivitas daerah (BPPD). Pada tahun 1995/96, dilaksanakan pelatihan yang diikuti oleh 13.493 orang, di antaranya sebanyak 3.600 orang diarahkan bagi pembentukan kader produk­tivitas yang dapat membantu menyebarluaskan dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, dilakukan juga penyuluhan produktivitas di 540 perusahaan. Untuk memasyarakatkan produktivitas, pada tahun 1995/96 dilakukan pemberian penghargaan produktivitas "Siddhakarya" untuk tingkat propinsi kepada 159 perusahaan yang berhasil menerapkan konsep produktivitas dan mengembangkan usahanya. Untuk tingkat nasional pada tahun 1994/95, diberikan penghargaan produktivitas "Paramakarya" kepada 11 perusahaan.

2) Pembinaan Lembaga Produktivitas

Pembinaan lembaga produktivitas dimaksudkan untuk mengem­bangkan dan meningkatkan pelayanan bagi usaha kecil dan menengah, serta diarahkan pada upaya pengembangan kewirausahaan yang dapat menciptakan lapangan kerja produktif. Untuk itu, dilaksanakan konsultansi manajemen dan pembentukan unit produktivitas di setiap sektor dan unit usaha. Pada tahun 1995/96, dilaksanakan pembinaan konsultansi manajemen di 1.180 perusahaan menengah. Guna memper­luas jaringan pelayanan penyuluhan, pembinaan, konsultansi produk­tivitas, dan pengembangan sistem informasi produktivitas, dibentuk sebanyak 540 unit produktivitas di perusahaan kecil dan menengah. Pembinaan konsultansi manajemen dan pembentukan unit produktivitas meningkat dibandingkan tahun 1994/95 yang masing­masing hanya 5 perusahaan dan 277 unit produktivitas.