a) Serikat Pekerja, Lembaga Bipartit,
dan Tripartit
Upaya pengembangan dan
pemantapan fungsi lembaga ketenagakerjaan seperti serikat
pekerja, lembaga bipartit dan tripartit dilaksanakan antara lain melalui
pendidikan dan penyuluhan HIP. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari upaya
memasyarakatkan pedoman penghayatan dan pengamalan
Pancasila (P4) dan diarahkan agar pelaku hubungan kerja lebih mampu
memecahkan masalah nyata dengan berlandaskan HIP. Pada tahun
1995/96, dilaksanakan pendidikan dan penyuluhan HIP bagi 2.611 orang yang
terdiri dari 1.968 orang pekerja, 398 orang pengusaha, dan 245 orang dari instansi
pemerintah.
Serikat pekerja dalam hal
ini SPSI, menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Pada tahun
1995/96, jumlah unit kerja SPSI bertambah sebanyak 2.116 buah atau meningkat
sebesar 19,9 persen bila dibandingkan dengan tahun 1994/95.
Secara kumulatif, dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1995/96
terbentuk unit kerja SPSI di perusahaan sebanyak 12.739 buah, 272 dewan
pimpinan cabang (D.PC) SPSI, dan 27 dewan
pimpinan daerah (DPD) SPSI (Tabel IV-9). Pada perusahaan yang
belum memiliki unit kerja SPSI, dibentuk serikat pekerja tingkat perusahaan
(SPTP). Sampai dengan tahun 1995/96 telah terbentuk 1.015 unit SPTP.
Lembaga kerja sama (LKS) bipartit
merupakan wadah bagi pengusaha dan pekerja untuk memecahkan masalah hubungan
industrial secara bersama. Pada tahun 1995/96, terbentuk 942 buah LKS bipartit,
sehingga secara kumulatif mulai tahun 1983 telah terbentuk sebanyak 5.271 buah LKS Bipartit di tingkat
perusahaan. LKS tripartit merupakan wadah konsultasi dan komunikasi antara
pemerintah, organisasi pekerja, dan organisasi pengusaha yang didirikan sejak
tahun 1979. Sampai dengan tahun 1995/96, telah terbentuk LKS tripartit di daerah tingkat II sebanyak 216
buah, dan LKS tripartit sektoral sebanyak 96 unit yang tersebar di seluruh propinsi.
b) Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan
Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di tingkat pusat dan daerah (P4P/P4D) merupakan lembaga
ketenagakerjaan yang bertugas membantu menyelesaikan perselisihan dan
pemutusan hubungan ketenagakerjaan. Dengan semakin
mantapnya fungsi lembaga penyelesaian perselisihan yaitu P4P dan P4D, perselisihan perburuhan menurut
UU. No. 22/1957 dan pemutusan hubungan kerja menurut UU. No. 12/1964 semakin
berkurang. Upaya untuk mengurangi terjadinya perselisihan juga dilaksanakan
melalui penyuluhan di perusahaan mengenai cara-cara
penanggulangan masalah hubungan industrial secara musyawarah dan
mufakat.
Pada tahun
1995/96, perselisihan perburuhan dan pemutusan hubungan kerja yang masuk melalui P4D tercatat
sebanyak 3.842 perkara, dan berhasil diselesaikan
sebanyak 4.147 perkara, termasuk yang belum putus pada tahun sebelumnya.
Perselisihan perburuhan dan pemutusan hubungan kerja yang masuk melalui P4P,
tercatat sebanyak 808 perkara, dan berhasil diselesaikan sebanyak 787 perkara. Jumlah perkara yang masuk melalui P4D dan P4P mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun
1994/95, yang tercatat masing-masing sebanyak 4.463 dan 1.016 perkara. Penurunan ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk
menyelesaikan perselisihan secara musyawarah dan mufakat telah
meningkat di antara para pekerja dengan pengusaha.
2) Perbaikan Syarat-syarat Kerja dan
Peningkatan Kesejahteraan
a) Pengupahan
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja diupayakan perbaikan syarat-syarat kerja melalui penyempurnaan
pengupahan, di mana upah minimum regional (UMR) ditetapkan secara bertahap agar
setara dengan kebutuhan hidup minimum (KHM). Pada tahun 1994/95, diadakan
penyempurnaan komponen kebutuhan fisik minimum (KFM) menjadi KHM. Setelah
komponen KHM ditetapkan, maka dilaksanakan
penetapan kenaikan UMR yang berlaku secara berkala setiap tanggal 1
April. Sampai dengan tahun 1995, ditetapkan 28 UMR di 27 propinsi. Pada tahun
1995, rata-rata UMR per hari adalah sebesar Rp3.711,- atau meningkat 18,6
persen dibandingkan dengan tahun 1994. Upah
terendah 'terdapat di Propinsi Sulawesi Tengah sebesar Rp2.800,- dan
tertinggi terdapat di Pulau Batam sebesar Rp6.750,-. Dengan adanya kenaikan
tersebut, sampai dengan tahun 1995 UMR telah mencapai 90,7 persen dari KHM
(Tabel IV-10).
b) Kesepakatan Kerja Bersama
Kesepakatan
kerja bersama (KKB) di perusahaan merupakan kesepakatan antara pekerja dan
pengusaha yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat, yang
berorientasi pada usaha-usaha untuk mengembangkan keserasian hubungan
kerja, usaha dan kesejahteraan bersama, melalui penegasan hak dan
kewajiban masing-masing secara konkrit dan jelas. Bagi perusahaan yang
mempunyai pekerja paling sedikit 25 orang dan belum memiliki unit kerja SPSI,
sejak tahun 1978 diwajibkan membuat peraturan perusahaan (PP). Pada tahun 1995/96,
terbentuk 2.915 buah KKB, baik di perusahaan besar maupun sedang. Secara
kumulatif dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1995/96, telah terbentuk 10.546
KKB di 12.739 perusahaan yang sudah memiliki unit kerja SPSI (Tabel IV-11). PP
yang terbentuk pada tahun 1995/96 adalah sebanyak 864 buah, sehingga secara kumulatif sampai dengan tahun 1995/96 telah
mencapai jumlah 23.282 buah.
3) Perlindungan Tenaga Kerja
a) Perlindungan dan Pengawasan Tenaga
Kerja
Perlindungan
dan pengawasan tenaga kerja, antara lain diupayakan melalui penerapan seluruh
aspek ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan norma kerja, baik melalui penyuluhan secara massal maupun
pembinaan langsung keperusahaan. Untuk meningkatkan efektifitas pengawasan
norma kerja, diupayakan untuk meningkatkan kemampuan teknis pengawas ketenagakerjaan yang pada tahun 1995/96 meliputi
pelatihan bagi 120 orang pegawai pengawas, dan penyiapan
100 orang fasilitator untuk pembentukan kader penerapan norma
kerja. Pengawasan norma kerja telah dilaksanakan terhadap 39.212
perusahaan. Pada tahun 1995/96 telah ditindak 18.062 perusahaan yang
lalai atau sengaja tidak melaksanakan ketentuan yang berlaku. Selain itu,
dilakukan pula upaya penyebarluasan
ketentuan-ketentuan mengenai ketenagakerjaan melalui kegiatan cepat tepat norma
kerja dan penyuluhan kesadaran hukum (kadarkum) bagi 1.359 perusahaan
dan 6.250 pekerja. Untuk membantu penyebarluasan dan penerapan
norma kerja di perusahaan, dibentuk kader penerapan norma kerja di
480 perusahaan.
Perlindungan
bagi tenaga kerja wanita terus ditingkatkan dan dilaksanakan dengan memperluas
jangkauan ke sektor informal, khususnya di unit-unit produksi
industri rumah tangga, dalam bidang hiperkes, ergonomi, keselamatan dan
kesehatan kerja. Upaya memberikan perlindungan bagi tenaga kerja wanita juga
dilaksanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat, khususnya organisasi wanita untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan
pelatihan. Pada tahun 1995/96, dilaksanakan kegiatan penyusunan modul
pelatihan dan pengembangan perlindungan tenaga kerja wanita di sektor informal. Selain itu, diadakan pelatihan bagi pelatih
keterampilan dan perlindungan tenaga kerja wanita sektor
informal sebanyak 440 orang, pelatihan bagi pelatih pengelola tempat
penitipan anak (TPA) dan peningkatan penggunaan air susu ibu (PPASI) sebanyak
670 orang, serta pelatihan pelatih fasilitator sebanyak 670 orang.
Perlindungan dan pengawasan
terhadap hal yang membahayakan keselamatan dan masa depan anak yang
terpaksa bekerja terus ditingkatkan. Upaya perlindungan dilakukan melalui penerapan norma kerja, yang
mencakup peningkatan penegakan hukum (law enforcement) terhadap ketentuan-ketentuan dasar bagi
anak yang terpaksa bekerja, antara lain berupa pembatasan
jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari, tidak mempekerjakan pada
malam hari, pemberian waktu dan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan, dan pelaksanaan pemberian upah sesuai dengan UMR. Pada tahun
1995/96 dilaksanakan pelatihan peningkatan pengelolaan bagi
130 pengawas ketenagakerjaan untuk menangani anak yang terpaksa
bekerja.
b) Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Upaya perlindungan tenaga kerja
dilaksanakan pula melalui kegiatan pengawasan dan penerapan norma
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta pembudayaan K3 di
perusahaan. Pengawasan atas pelaksanaan norma K3 di perusahaan, meliputi
pengawasan teknis terhadap bahaya penggunaan alat
mekanik, proses produksi, bahaya penggunaan listrik, dan lingkungan
kerja. Penyebarluasan dan penerapan K3 di perusahaan, dilaksanakan melalui pengembangan dan
pembentukan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3). Pada tahun 1995/96, terbentuk P2K3 di perusahaan
sejumlah 490 unit. Secara kumulatif dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1995/96,
P2K3 telah mencapai sejumlah 11.389 unit.
Dalam rangka memasyarakatkan dan
memberikan pengertian serta kesadaran yang menumbuhkan
budaya K3 di kalangan pengusaha dan pekerja dilaksanakan kegiatan penyuluhan, kursus, dan pelatihan
K3 yang antara lain mencakup pelatihan bagi 600 orang fasilitator, 4.744 orang
juru las, 1.500 orang dokter pemeriksa kesehatan, dan 653 orang ahli K3. Dengan
tumbuhnya kesadaran terhadap pentingnya K3, maka jumlah
perusahaan yang mendapatkan penghargaan dalam keberhasilannya
mencapai tingkat kecelakaan kerja nihil dengan berbagai kategori jam kerja
semakin meningkat, yaitu dari 133 perusahaan pada tahun 1994/95 menjadi 184
perusahaan pada tahun 1995/96.
c) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) merupakan
upaya pula untuk memberikan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan tenaga
kerja. Jamsostek telah diselenggarakan sejak tahun 1978, dan peserta yang
mengikutinya terus mengalami peningkatan, baik
dalam jumlah perusahaan maupun jumlah tenaga kerja. Pada tahun 1995, jumlah
peserta Jamsostek bertambah sebanyak 5.489 perusahaan dan mencakup 1.384,7 ribu
orang tenaga kerja. Secara kumulatif sampai dengan tahun 1995, jumlah
pesertanya telah mencapai sebanyak 56.673 perusahaan dan mencakup tenaga kerja
8.814,3 ribu orang. Selain itu, diselesaikan 252.211 kasus kecelakaan kerja,
tabungan hari tua, dan jaminan kematian, dengan pembayaran jaminan sebesar Rp
126,02 miliar (Tabel IV-12).
2. Program Penunjang
a. Program Pendidikan, Pelatihan,
dan Penyuluhan Ketenagakerjaan
Program pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan ketenagakerjaan bertujuan meningkatkan produktivitas
dan sekaligus kemampuan, keahlian dan keterampilan bagi aparatur pemerintah.
Pada tahun 1995/96, dilaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi 1.511 orang pegawai Departemen Tenaga Kerja. Pendidikan dan pelatihan
tersebut meliputi bidang fungsional seperti pengantar kerja, pegawai pengawas, dan
pegawai perantara, sebanyak 630 orang; bidang teknis substantif seperti pengelola pelatihan, penguji
hyperkes dan kesehatan kerja 350 orang; bidang teknis umum
seperti manajemen proyek, dan penelitian khusus 269 orang; dan bidang
struktural seperti Sekolah Pimpinan Administrasi tingkat Madya (SPAMA) dan
Administrasi Umum (ADUM) 88 orang; serta pendidikan dan pelatihan untuk
pengembangan sistem pelatihan bagi 174 orang.
b. Program Penelitian dan Pengembangan
Ketenagakerjaan
Program
penelitian dan pengembangan ketenagakerjaan ditujukan bagi penelitian masalah-masalah
ketenagakerjaan yang bersifat operasional dan strategic kebijaksanaan,
pengembangan ketenagakerjaan, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Hasil-hasil penelitian akan dipergunakan sebagai bahan pendukung
pelaksanaan program-program ketenagakerjaan dan perencanaan tenaga kerja
nasional.
Pada tahun 1995/96, dilakukan penelitian mengenai potensi sumber daya manusia
dan mobilitas penduduk di daerah kawasan pertumbuhan BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipina East
Asean Growth Areas); perkembangan struktur perekonomian dan kesempatan kerja; penempatan tenaga
kerja melalui mekanisme antarkerja antardaerah (AKAD);
pemanfaatan teknologi padat karya di perdesaan; manfaat pemagangan bagi
peserta dan perusahaan di industri pengolahan; kebutuhan
pelatihan untuk pengembangan ekspor nonmigas pada subsektor tekstil dan
kerajinan tangan; kesiapan lembaga latihan swasta dalam
pengembangan sumber daya manusia; studi perkembangan upah dan lapangan
kerja di berbagai cabang industri dan penyusunan model bagi
sistem deteksi dini perselisihan hubungan industrial.